Bangunan di Boldoser Preman, Tanah Redis Dirampas Mafia, Rantauan Seraya di Desa Musi Terpaksa Tinggal Beratapkan Terpal

Bangunan rumah di boldoser preman, sekelompok  warga rantauan Desa Seraya,Kabupaten Karangasem, yang  sudah lama menetap di Desa Musi, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng,  melawan dan tetap tingal di lahan miliknya dengan beratapkan terpal.

BULELENG, Balifactualnews.com—Sejumlah warga yang tinggal di Banjar Dinas Musi, Desa Musi, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng terpaksa harus tinggal beratapkan terpal. Hal ini terjadi setelah rumah tinggal yang sudah di tempati berpuluh-puluh tahun diratakan dengan tanah oleh sekelompok preman. Belakangan  sekolompok preman itu diketahui berasal dari Sidatapa, dan mengklaim  tanah yang ditempati  sekelompok warga itu miliknya.

Keseluruhan warga itu berjumlah 16 orang, terdiri dari 2 Kepala Keluarga. Mereka adalah keluarga Ni Luh Merti (76) beserta anak, menantu dan cucunya, serta keluarga I Gede Sukra Redana beserta anak dan cucunya.

I Gede Darmayasa, anak dari Ni Luh Merti, menuturkan bahwa keluarganya sudah tinggal di sana sejak tahun 1958, menempati lahan yang diwariskan bapaknya atas nama I Nengah Wirni—warga asli Desa Seraya, Karangasem yang merantau ke Desa Musi.

“Bapak saya asli dari Desa Seraya Karangasem, merantau ke Musi dan tinggal di lahan ini. Sekitar tahun 1969, Bapak saya diberikan hak oleh pemerintah untuk mengelola tanah ini sebagai tanah Redis,” ujar I Gede Darmayasa.

Hal senada juga diungkapkan I Gede Sukra Resdana,  salah satu kepala keluarga yang rumahnya ikut dihancurkan.  Tanah yang ditempatinya itu warisan dari   ayahnya, I Putu Gelgel.

“Bapak saya tercatat sebagai penerima tanah Redis atas lahan yang saya tempati ini, bahkan sudah pernah punya sertifikat. Namun karena rumah kami terbakar sekitar tahun 1976, sertifikatnya juga ikut terbakar, Tapi kami masih memiliki foto copy nya,” ungkap I Gede Sukra Redana sambil memperlihatkan foto copy sertifikat tanah yang ditempati.

Merasa lahan yang tempati adalah sah milik mereka, keluarga ini damai damai saja tinggal di sana selama puluhan tahun. Tapi masalahnya baru muncul ketika tanggal 6 April 2022, mereka menerima surat yang isinya perintah untuk mengosongkan lahan yang tempati, karena lahan tersebut sudah dibeli oleh I Ketut Arya Budi Giri sejak tahun 1992.

Pewaris warga penerima tanag Redis dari pemerintah itu bergeming dan mengabaikan  surat tersebut, karena merasa bahwa lahan tersebut adalah miliknya. Surat pengosongan lahan yang tak berbalas, tapi 17 April 2022, sekelompok preman Sidatapa yang  diduga disewa Arya Budi Giri datang dan mengobrak abrik lahan mereka.  Saat itu juga sekelompok preman  itu, memerintah  warga pelik tanah Redis itu meninggalkan tempat. Bukan itu saja kelompok preman itu juga membabi buta menebang pohon-pohon  yang ada di lahan tersebut.

“Karena takut dan tidak tahu harus berbuat apa, akhirnya kami menghubungi kerabat dari Desa Seraya yang berprofesi sebagai pengacara,” ujar I Gede Darmayasa.

Hal ini dibenarkan oleh I Made Arnawa SH, salah satu kuasa hukum warga. “Kebetulan salah satu rekan kami, Advokat I Wayan Eko berasal dari Seraya dan diminta bantuan untuk mengawal kasus ini,”ujarnya.

Arnawa menambahkan, setelah dimintai bantuan oleh warga, Tim nya langsung turun ke Desa  Musi untuk mengumpulkan data – data, diduga ada keterlibatan mafia tanah dibalik perampasan lahan milik warga tersebut.

“Dari data, informasi yang kami kumpulkan, memang benar ada dokumen yang menyatakan kalau tanah yang ditempati warga itu adalah tanah Redis. Jadi di sini kita temukan ada 2 dokumen kepemilikan yang berbeda,”ucap Arnawa.

Mendapati kondisi tersebut, Tim Kuasa Hukum warga langsung bertindak cepat. Apalagi pada tanggal 25 April 2022, warga kembali menerima surat dari preman yang disewa oleh Arya Budi Giri untuk mengosongkan lahan tersebut paling lambat tanggal 29 April 2022.

“Kami mendapat laporan dari warga, kalau mereka menerima surat lagi utk mengosongkan lahan tersebut paling lambat tanggal 29 April 2022. Karena ada indikasi bahwa sertifikat yang dimiki oleh Arya Budi Giri itu ada indikasi pemalsuan dokumen dan permainan mafia tanah, kami sedang melakukan upaya hukum dengan mengajukan nota Keberatan ke  BPN Singaraja atas terbitnya sertifikat tersebut. Nota keberatan ini juga kami  tembuskan ke Kajari  dan Kapolres Buleleng,” pungkas Arnawa.

Walaupun sedang dilakukan proses hukum, namun pengacara Arya Budi Giri tetap ngotot melakukan eksekusi paksa. Pada tanggal 29 April 2022, puluhan preman Sidatapa yang disewa oleh Arya Budi Giri datang ke lokasi dan menghancurkan rumah rumah warga. Tidak cukup puas sampai di sana, kembali pada tanggal 5 Mei, preman – preman tersebut kembali turun dengan membawa alat berat dan meratakan tanah warga.

“Kami tidak punya tanah lain, karena satu satunya peninggalan suami adalah tanah ini. Jadi kami harus tinggal di mana? Kami hanya mengharap keadilan. Jadi kami akan tetap tinggal di sini sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan bahwa tanah ini bukan milik kami. Walaupun hanya beratapkan terpal,” ucap Ni Luh Merti lirih  dengan mata berkaca – kaca. (ar/tio/bfn)

Exit mobile version