Utama  

Komnas Perlindungan Anak : Bogor Darurat Seksual Terhadap Anak

banner 120x600
Komnas Perlindungan Anak bersama Lintas Healing Center,
P2TP2A serta MGMP Bogor segera berkordinasi dengan Polres Bogor 

Depok — Kejahatan seksual terhadap anak dibawah usia lima tahun (Balita) di Kabupaten Bogor terulang lagi dan terulang lagi. Kali ini menimpa 3 orang anak dibawah usia lima tahun masing-masing inisial DS (4), IY (4), MI (5) yang dilakukan seorang anak remaja HR (14) siswa kelas satu SMP.

Kasus kekerasan seksual ini berawal ketika ketiga korban sedang melakukan aktivitas bermain dirumah adik pelaku NI (5). Kebetulan ketiga korban ini bertetangga dekat dengan HR.

Menurut hasil investigasi Komnas Perlindungan Anak Pokja Bogor dan Lintas Healing Center (LHC) dan Yayasan MGMP di Bogor, setelah HR berhasil memisah ketiga korban dengan adiknya HI (5), HR lalu mengajak ketiga korban bermain mewarnai vagina dengan spidol termasuk penis pelaku HR.

Setelah semua alat kelamin korban berhasil diwarnai, HR kembali memperdaya ketiga korban dengan memasukkan penis secara paksa ke masing-masing vagina korban  sampai mengeluarkan darah. Tiga hari setelah peristiwa  itu, satu dari tiga korban mengalami demam tinggi yang disebabkan vagina korban terasa perih dan  mengeluarkan Nanah. Kondisi inilah yang akhirnya mendorong orangtua korban melaporkan peristiwa ini kepada Polres Bogor,  namun sayangnya penanganan kasus tindak pidana kejahatan seksual ini dirasakan keluarga masih sangat lamban.

Menurut data yang diterima Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Komnas Perlindungan Anak dua tahun belakangan ini, Kabupaten Bogor masuk urutan ketiga terbanyak terjadinya kekerasan seksual terhadap anak di wilayah Jabodetabek, setelah Jakarta dan Bekasi.

Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak dalam laporan akhir tahunnya mencatat, sepanjang tahun 2018 di Kabupaten Bogor telah terjadi 229 kasus kekerasan seksual terhadap anak. Data itu juga melaporkan bahwa pelaku kejahatan seksual terhadap anak umumnya dilakukan oleh orang terdekat korban.

Arist Merdeka menambahkan angka kejahatan seksual terhadap anak ini meningkat jika dibandingkan dengan laporan kasus ditahun 2017 yang hanya 188 kasus. Data ini juga menunjukkan bawa 26% pelakunya adalah usia anak dan selebihnya dilakukan oleh orang dewasa baik dilakukan  secara sendiri-sendiri namun ada juga yang dilakukan secara bergerombol (gengRAPE).

Selain angkanya terus meningkat, sebarannya juga merata dari kampung ke kampung dan dari kecamatan ke kecamatan.

Sementara itu penegakan hukumnya atas kasus-kasus kekerasan terhadap anak masih dirasakan  masyarakat sangat lamban,  lemah dan belum berkeadilan.  Banyak predator kejahatan seksual terbebas dari jerat hukum lantaran kurangnya bukti. Hal ini yang menjadi kendala di setiap penanganan  kasus kejahatan seksual terhadap anak. Pembuktian yang cukup sangat diperlukan  untuk bisa menetapkan tersangka. Selain visum et refrentum sebagai salah satu bukti hukum juga korban  harus mampu menghadirkan saksi yang melihat terjadinya peristiwa kekerasan seksual itu. Inilah penyebab lambannya penanganan setiap perkara kekerasan seksual khususnya terhadap anak.

Sementara itu, perhatian pemerintah Kabupaten Bogor termasuk penyiapan program dan anggaran untuk membangun partisipasi masyarakat yang dapat diintegrasikan dalam Anggaran Dinas PPPA  Kabupaten Bogor guna  membangun Gerakan Terpadu Perlindungan Anak di seluruh tingkatan baik mulai sati RT, RW, Kelurahan dan Kecamatan masih sangat sedikit atau minimal, sekalipun Kabupaten Bogor oleh Kementerian PPPA RI tahun lalu  sudah ditetapkan sebagai  salah satu  Kabupaten dan Kota Layak Anak, namun penetapan predikat ini belum mampu mengurangi kejahatan terhadap anak.

Dari data-data dan kondisi  itu, tidaklah berlebihan jika Komnas Anak sebutan lain dari Komnas Perlindungan Anak menilai bahwa Kabupaten Bogor saat ini berada dalam kondisi Darurat Kekerasan Seksual terhadap Anak.

Kondisi iniah yang harus disikapi pemerintah Kabupaten Bogor dengan membangun Gerakan Memutus Mata Rantai Darurat Kekerasan Seksual Terhadap Anak dengan cara membentuk Satuan Tugas Khusus (Satgass)  Perlindungan anak atau Relawan Sahabat Anak Indonesia disemua tingkatan diseluruh wilayah hukum Kabupaten Bogor dengan melibatkan partisipasi anak dan partisipasi masyarakat. Dengan demikian kasus-kasus pelanggaran hak anak dapat terpantau dengan baik dan dapat diminimalisir, tambah Arist.

Arist lebih jauh menjelaskan untuk penanganan kasus kejahatan seksual yang menimpa 3 korban anak Balita, Komnas Perlindungan Anak sangat percaya bahwa Polres Bogor secara khusus penyidik Unit PPA Polres Bogor segera akan menindaklanjuti perkara ini. (rit/ani)