DENPASAR, Balifactualnews.com – Kesepakatan jika para atlet bulutangkis yang boleh turun di ajang pra-PON maupun PON maksimal 21 tahun memang masih harus diputuskan dalam Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) PB PBSI di Jakarta, pada 16-17 Desember 2022.
Namun beberapa provinsi menginginkan perubahan batas usia itu termasuk sistim pertandingan pada pra-PON yang dinilai kedua persoalan itu kurang fair atau kurang sportif. Misi perubahan dengan segala pertimbangan itulah yang nanti dibawa dan diusulkan Ketua Umum Pengprov PBSI Bali Wayan Winurjaya pada Mukernas nantinya.
“Ya jelas kurang fairlah kalau seperti itu. Kami perlu itu dirubah agar semuanya sportif. Misalnya di batas usia kalau memang keputusannya maksimal 21 tahun di PON XXI/2024 di Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) nanti, maka bagaimana dengan pebulutangkis yang berusia 22 tahun keatas ? Apa mereka masih muda dan potensial harus sudah menjadi pelatih atau wasit ? Padahal usia itu usai keemas an dan sangat potensial untuk berprestasi. Lihat saja pasangan Ahsan dan Hendra meski sudah usianya ukuran pebulutangkis sudah tua, nyatanya masih bisa berprestasi. Jadi kepentingan lebihbesar harus kita lihat dan kami ingin ada perubahan itu. Usulan kami nantinya pebulutangkis pra-PON maupun PON usianya bebas saja,” kata Winurjaya di Denpasar, Selasa (13/12/2022).
Jika arahnya untuk pelatnas lanjutnya, Kan bisa dilakukan seleksi atau melalui kejuaraan nasional yang pebulutangkisnya berusia muda. “Yak an pebulutangkis mud aitu bisa diturunkan di Kejuaraan Internasional Junior. Tapi kalau pra-PON maupun PON batas usia seperti itu maka jelas ini kurang fair,” tambah Winurjaya sambal menambahkan jika PBSI Banten dan Bangka Belitung setuju dengan semua itu.
Selain itu, sistim pertandingan di pra-PON juga kurang fair karena yang dipertandingkan hanya beregu saja. Artinya sistim beregu itu, jika dalam satu wilayah atau grup sang juara grup dan runner up akan bisa turun di perorangan sementara ranking 3 atau 4 dianggap di beregu gagal sehingga tidak bisa menurunkan pebulutangkis di perorangan.
“Ini kan juga tidak fair. Kalau seperti itu sistimnya maka daerah yang Tangguh saja yang bisa menurunkan pebulutangkis di perorangan. Sedangkan daerah yang lemah tidak bisa. Ini juga kurang fair karena PON merupakan hajatan olahraga seluruh provinsi di Indonesia. Contohnya sistim yang digunakan itu di PON Papua lalu, yang lolos bertanding hanya 12 provinsi sementara jumlah provinsi di Indonesia ada sekitar 34. Ini yang juga ingin kami rubah dengan usulan kami,” demikian Winurjaya. (ena/bfn)