Putusan MK 88 Legakan Politisi yang Sudah Kehilangan Parpol, Bisa Melenggang Nyaleg

putusan-mk-88-legakan-politisi-yang-sudah-kehilangan-parpol-bisa-melenggang-nyaleg
Kadiv Hukum KPU Klungkung, Wayan Sumerta.
banner 120x600
SEMARAPURA, Balifactualnews.com – Putusan MK. No. 88/PUU-2023 terhadap pengujian UU no 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah memberi nafas lega buat politisi yang kehilangan parpol/ pindah parpol untuk mencalonkan diri di legislatif  pemilu 2024.
Terlebih kepada 3 orang pemohon perkara pengujian undang- undang tersebut yakni, Sefriths Eduard Dener Nau, anggota DPRD Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Misban Ratmaji, SE, anggota DPRD Mataram, NTB serta Kardinal, anggota DPRD Kampar, provinsi Riau. Pemohon memohonkan pengujian itu dengan permohonan perkara pengujian uu tersebut pada 24/7 2023 yang dikuasakan kepada penasehat hukum DRS. Hendriyanus Rudyanto Tonubesi dan Denete Singsigus L Sibu( advokat dari Kupang, NTT.
Menurut Kadiv Hukum KPU Klungkung Wayan Sumerta ditemui Selasa(14/11/2023) menyatakan dengan putusan ini tentu saja,Nafas lega juga dirasakan anggota DPRD Klungkung, I Nyoman Sukirta yang sempat degdegan takut kehilangan kesempatan mencalonkan diri menjadi calon legislatif pemilu 2024 dari Dapil 4( Banjarangkan) pasca parpolnya PKPI tidak lolos menjadi partai peserta pemilu.
“Kini Sukirta sudah terdaftar di DCT sebagaimana telah diumumkan KPU Klungkung, 4/11 dengan mengendarai partai lain. Secara nasional rupanya banyak kader PKPI yang pindah partai karena parpol yang dipayungi,ternyata tidak lolos menjadi peserta pemilu 2024,” ungkapnya.
Menurut dua,Kegelisahan politisi disebabkan karena khawatir tak boleh nyaleg dari parpol lain sebagaimana bunyi pasal 193 ayat (2) huruf i UU no. 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah. Dimana pada ayat 2 berbunyi bahwa anggota DPRD kabupaten/ kota diberhentikan antar waktu sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf C apabila menjadi anggota partai politik lain. Karena itu politisi ini merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh uu tersebut sehingga di mohonkan untuk diujikan dengan UUD 1945.
Tentu saja putusan MK dimana
Majelis Hakim MK yang diketuai Ketua MK, Anwar Usman dengan hakim anggota Saldri Isra, Arief Hidayat, Manahan M. p. Sitompul, Wahiduddin Adams, Suhatoyo, Enny Nurbaningsih, M. guntur Hamzah dan Daniel Yasmin P. Foekh dalam amar putusannya mengabulkan permohonan untuk sebagian, yakni menyatakan pasal 193 ayat (2) huruf i  UU no. 23/2014 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ” Dikecualikan bagi anggota DPRD kabupaten/ kota jika:  a. parpol yang mencalonkan   anggota tersebut tidak lagi menjadi peserta pemilu atau kepengurusan oarpol tersebut sudah tidak ada lagi.
b. Anggota DPRD kabupaten/ kota tidak diberhentikan atau tidak ditarik oleh patpol yang mencalonkannya.
c. Tidak lagi terdapat calon pengganti yang terdaftar dalam DCT dari partai yang mencalonkannya. Dikatakan majelis hakim norma pasal tersebut dinilai inkonstitusional secara bersyarat sebagaimana substansi dan amat putusan MK no. 39/PUU-XI/2013 sepanjang berkenaan dengan keanggotaan DPR dan DPRD provinsi, maka lanjut hakim majelis MK menilai tidak relevan untuk dipertimbangkan.
Pada beberapa daerah keanggotaan DPRD mayoritas diisi oleh parpol yang tidak lagi ikut dalam pemilu tahun berikurnya, maka anggota DPRD secara masal akan melakukan perpindahan  ke parpol lain yang menjadi peserta pemilu berikutnya. Dalam jumlah yang signifikan perpindahan anggota DPRD ini maka menimbulkan permasalahan dalam pergantian anggota yang mengakibatkan DPRD tidak dapat melaksanakan tugas konstitusionalnya. Padahal pada tingkat daerah DPRD merupakan bagian penting sebagai unsur pemerintahan daerah bersama kepala daerah. Kekosongan keanggotaan dalam jumlah signifikan demikian hakim majelis akan menimbulkan persiapan legitimasi dan legalitas pengambilan keputusan sehingga mengakibatkan kepincangan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dinilai majelis hakim dalam kasus tersebut  ada dua masalah yang mesti dipecahkan, pertama tidak berfungsinya DPRD menjalankan tugas konstitusionalnya dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kedua terabaikannya hakim konstitusional warga yang memilih para wakilnya. Oleh karena itu untuk menjamin tegaknya hak- hakim konstitusional tersebut, mahkamah harus menafsirkan secara konstitusional bersyarat tentang pasal 16 ayat (3) UU parpol, sehingga tidak menimbulkan persoalan konstitusional baru sebagai akibat terjadinya kekosongan anggota DPR dan DPRD.
” Tentu putusan MK ini melegakan banyaknya politisi pindah parpol dan sekaligus menghapus kekhawatiran dari akibat tidak lolosnya parpol yang ditumpangi pada pemilu berikutnya. Dalam dalil permohonan pemohon merasa dirugikan oleh berlakunya uuuu. No. 23/2014 tentang pemerintahan tahan daerah dimaksud,” sebut Wayan  sumerta, kadiv hukum KPU Klungkung ini tegas. (Roni/bfn)