KARANGASEM, Pesona Tradisi Perang Pandan atau Mekare-kare di Desa Tenganan Pegringsingan memang menyedot banyak perhatian berbagai kalangan, baik dari masyarakat, wisatawan lokal maupun asing dan tak ketinggalan bagi para fotografer pengabadi budaya Bali. Tradisi perang pandan atau Makare Kare sendiri merupakan rangkaian dari Usaba Sambah dilaksanakan setiap tahun. Perheatan perang pandan itu biasanya digelar di bale petemon kaja dan bale patemon tengah.
Alunan gamelan salonding yang disakralkan masyarakat Tenganan Pegringsingan yang merupakan peninggalan jaman kerajaan Majapahit mengiringi prosesi perang pandan. Sementara para peserta perang pandan yang dilakukan oleh laki laki dengan penuh suka cita saling serang dan bertahan agar tidak terkena lebih banyak goresan pandan yang berduri.
Menurut salah satu kelian di Desa Tenganan Pegringsingan I Putu Yudiana saat ditemui Balifactualnews.com mengatakan, perang pandan merupakan ritual persembahan kepada Dewa Indra. Dijelaskannya jaman dahulu Tenganan merupakan daerah yang dipimpin oleh seorang raja bernama Maya Denawa yang sangat kejam.
“Kekejaman dan mengaku sebagai dewa, membuat para Dewa di Kahyangan murka dan mengutus Dewa Indra untuk melenyapkan Maya Denawa yang sakti mandraguna, terlebih Maya Denawa melarang masyarakat Tenganan untuk melakukan upacara keagamaan. Peperangan antara Maya Denata dan Dewa Indra dimenangkan oleh Dewa Indra, peperangan itu kini oleh masyarakat kami di Desa Tenganan diperingat dengan upacara perang pandan, karena Dewa Indra adalah dewa perang,” tutur Yudiana.
Dalam pelaksanaan tradisi perang pandan, para laki-laki melakukan geret pandan satu sama lainnya dengan membawa tameng yang terbuat dari anyaman rotan. Duru duri pandan yang tajam menyebabkan cedera gores para peserta perang pandan hingga berdarah, yang merupakan bukti kesetiaan kepada Dewa Indra dan Dsebagai yadnya atau pengorbanan masyarakat Tenganan untuk desanya.
Lebih jauh Yudiana menjelaskan, perang pandan juga untuk mengenang kebebebasan masyarakat Tenganan atas pemerintahan kejam Raja Maya Denawa dan sekaligus untuk menghormati Dewa Indra sebagai dewa perang. Persembahan darah yang tukus iklas sebagai akubat dari perang pandan tersebut dioersembahkan kepada Dewa sungsungan masyarakat Tenganan Pegringsingan Kabupaten Karangasem.
Gelaran perang pandan itu sendiri lanjutnya, di hadiri oleh masyarakat Tenganan asli itu sendiri dan juga semua soroh yang bertempat tinggal di Tenganan, yakni ada soroh Pande dan soroh Pasek.
“Perang pandan Tenganan ini adalah simbul sebuah ketulusan yang sejati. Setelah melaksanakan perang pandan, para peserta tidak ada yang merasa dendam. Semua dilakukan dengan penuh kegembiraan, mesti tubuh oara peserta penuh goresan goresan luka dari duri pandan itu sendiri,” ungkap Yudiana. (ger/bfn)