Utama  

Ustad Pengelola Pompes AI Langkat Diduga Lakukan Sodomi Terhadap Puluhan Santrinya

banner 120x600

 

JAKARTA — Sumatra Utara boleh dikatakan dalam kondisi darurat kejahatan seksual terhadap anak. Belakangan ini warga Langkat dihebohkan dengan perilaku bejat seorang oknum pimpinan Yayasan Pendidikan Pondok Pesantren Al berinisial Ustad DI (53) yang diduga telah melakukan kejahatan seksual dalam  bentuk sodomi aias pedofilia kepada puluhan santrinya tepatnya di Dusun 2 Desa Serapuh ABC, Kecamatan Padang Tualang, Kabupaten Langkat Sumatera Utara.

Atas dugaan ini Ustad DI sebagaimana diatur dalam ketentuan UU RI Nomor 17 Tahun 2016  tentang penerapan PERPU Nomor 01 Tahun 2016,  junto UU RIN nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Ustad DI terancam pidana kurungan maksimal  20 tahun penjara, dan atau dapat terancam hukuman pidana penjara seumur hidup.

Dengan demikian Polres Langkat yang akan menerima pengaduan dan menangani perkara ini, jika Ustad DI nyata-nyata terbukti secara hukum melakukan kejahatan seksual terhadap puluhan santrinya, seperti yang pernah diakui dalam kata penyesalannya kepada lebih kurang 50 santrinya,  maka sesuai dengan ketentuan pasal 76D UU RI  Nomor : 35  Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan karena sudah memenuhi unsur yang ditentukan pada pasal 82 UU RI no. 35 Tahun 2014, oleh karenanya tidak ada alasan Polres Langkat untuk tidak menangkap dan menahan Ustad DI untuk dimintai pertanggung jawaban hukumnya. Dalam rilisnya komnas perlindungan anak di Jakarta meminta agar polisi melakukukan upaya hukum.

Sebab kejahatan seksual terhadap anak oleh hukum Nasional sudah dapat diancam hukuman pidana penjara mininal 10 tahun penjara dan telah dinyatakan pula sebagai kejahatan luar biasa lalu penangananan dan hukumannya pun mesti ditetapkan secara luar biasa, dengan demikian tidak ada kata “damai” atas perkara yang memalukan  ini,” demikian disampaikan Arist Merdeka Sirait Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak di kantornya di bilangan Pasar Rebo, Jakarta, Rabu 13/03 dalam  merespon pengaduan warga masyarakat, para pekerja media serta para pegiat perlindungan anak  di Langkat melalui telepon seluler.

Arist Merdeka menegaskan bagi siapapun yang memfasilitasi penyelasaian dugaan kejahatan seksual ini yang diduga dilakukan Ustad DI,  dengan cara damai, dan siapapun orang dan jabatannya, dalam ketentuan pasal 78 UU RI No. 35 Tahun 2024 dapat dikategorikan ikut mendorong dan ikut serta membiarkan terjadinya kejahatan seksual, siapapun dia dan apapun latar belakangnya dapat diancam pidana 5 tahun penjara dan atau denda 100 juta rupiah.

Lebih jauh Arist Merdeka Sirait Putra Siantar ini memberikan penjelasan kepada media, bahwa dugaan kejahatan seksual terhadap anak (santri-red) terungkap ketika puluhan santri laki-laki  Senin 11 Maret 2019 pukul 19.00 WIB melarikan diri secara bersama-sama ke luar pompes Al.

Dalam peristiwa itu, para santri ada yang pulang ke rumah dan ada juga yang melarikan diri ke kantor desa Serapuh ABC untuk minta pertolongan dari warga sekitar Pompes.

Informasi yang dihimpun oleh Tim Relawan Sahabat Anak Indonesia wilayah Langkat dan Kota Medan melaporkan bahwa sedikitnya ada 23 santri laki-laki mengaku menjadi korban dugaan kejahatan seksual dalam bentuk sodomi  bahkan ada dari antara santri itu sudah disodomi berulang kali hingga tak terhitung banyaknya.

Suhef bukan nama sebenarnya salah seorang korban menceritakan bahwa kemaluannya pernah dipegang-pegang, mulut kami dikulum oleh Ustad DI, bahkan dari kawan kami ada duburnya yang dimasukkan kemaluan Ustad DI.

Informasi yang sudah terkonfirmasi  menurut beberapa korban secara terpisah oleh Tim Relawan Sahabat Anak Indonesia melaporkan bahwa modus kejahatan seksual itu dilakukan, mula-mula para korbannya dibawa ke kamar oleh Ustad DI. Didalam kamar Itu para santri diajak bicara sehingga mereka terpancing dan kemudian badan para santri ditepuk-tepuk oleh DI, sehingga santri itu terperdaya dan kehilangan ingatan atau kesadaran seperti terhipnotis-red.

Kemudian para santri disuruh membuka seluruh pakaiannya (bugil-red), begitu santri bugil kemudian Ustad DI  melampiaskan kejahatan seksual dalam bentuk sodomi dan oral. Demikian informasi yang dapat dihimpun oleh para pegiat perlindungan anak dan pekerja media di Langkat dan Medan dari berbagai sumber termasuk dari korban lari.

Firman bukan nama sebenarnya 16 tahun kelas 2 Aliyah di Ponpes selaku teman korban mengatakan bahwa sebelumnya kami mau buat aksi melaporkan oknum pimpinan Ponpes, namun belum ada waktunya yang pas. Sayangnya kemudian rencana itu diketahui oleh Ustad DI, entah dari mana sumbernya.

Mendengar rencana itu, Ustaf DI akhirnya kami pada Senin 11 Maret 2019 para santri dikumpulkan semuanya pada siang hari tepatnya sehabis Sholat Dzuhur.

Masih menurut korban, pada waktu itu kami dikumpulkan oleh Ustad DI, kalau tidak salah ada 50 santri. Dan dari situ Ustaz DI mengatakan penyesalannya. Dan minta maaaf atas ulah yang telah dilakukan dihadapan santrinya. Hal ini di sampaikan ustad berulang ulang dengan mengaku menyesal seperti di jelaskan Firman.

Untuk memastikan peristiwa ini, Komnas Pelindungan Anak sebagai institusi independent yang diberikan mandat (legal standing), tugas dan fungsi untuk memberikan pembelaan dan perlindungan Anak bersama Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Provinsi Sumatera Utara, LPA Kabupaten, LPA Kota Medan dan Tim  Sahabat Anak Indonesia segera mengujungi Pompes Al  dan puluhan korban untuk diberikan layanan dan dampingan psikologis bagi korban di Dusun Serapuh ABC  Kabupaten Langkat. Secara khusus pula kehadiran  Komnas Perlindungan  Anak di Langkat  untuk melakukan kordinasi dengan Polres Kabupaten Langkat guna penegakan hukum atas peristiwa ini.

Atas perkara ini, Komnas Perlindungan Anak sangat percaya tehadap komitmen Kapolres Langkat dimana Polres Langkat akan segera bekerja cepat dan tepat demi penegakan hukum yang berkeadilan bagi korban dan demi kepentingan terbaik korban, oleh sebab itu saya sudah perintahkan LPA Sumut, Langkat dan Medan untuk melengkapi hasil investigasi yang sudah dilakukan untuk memperoleh bukti hukum permulaan yang cukup, tambah Arist penuh harap. (car/ani)