JAKARTA, Balifactualnews.com – Perang Rusia-Ukraina menunjukkan evolusi baru dalam taktik tempur, penggunaan drone, mulai dari yang berteknologi tinggi dan bernilai miliaran rupiah hingga drone komersial seperti DJI Mavic. Dalam beberapa pekan terakhir, Ukraina menuduh Rusia menggunakan drone “kamikaze” untuk menyerang sasaran sipil di Kyiv. Drone-drone ini membawa bahan peledak yang akan meledak saat menghantam target, sekaligus menghancurkan dirinya sendiri.
Salah satu jenis drone yang sering digunakan Rusia adalah Shahed-136 buatan Iran, yang dijuluki Geranium-2 oleh Moskwa. Drone ini dirancang untuk melayang di udara sebelum diarahkan menyerang target. Dikenal karena terbang rendah dan dalam jumlah besar, kawanan Shahed-136 menyulitkan sistem pertahanan udara Ukraina untuk mencegat mereka. Menurut laporan, Ukraina berhasil menembak jatuh sekitar 60 persen dari drone ini sejak awal Oktober. Meskipun harganya “murah” untuk ukuran militer sekitar Rp 309 juta per unit, penggunaan massal membuatnya efektif dan mematikan.
Namun, Ukraina juga tidak tinggal diam. Meski belum ada konfirmasi resmi, para analis menduga Ukraina mulai menggunakan drone kamikaze buatannya sendiri dalam serangan ke pangkalan militer Rusia, termasuk di Krimea. Ledakan kecil yang terlihat dari serangan-serangan ini menunjukkan kemungkinan penggunaan drone modifikasi buatan sendiri, yang diberi bahan peledak secara manual.
Selain itu, Ukraina juga mengoperasikan drone Bayraktar TB2 buatan Turki, drone besar dengan kamera dan kemampuan membawa bom berpemandu laser. Pada awal perang, Ukraina hanya memiliki sekitar 50 unit, tetapi keberadaannya terbukti efektif dalam menyerang amunisi dan kapal musuh, termasuk dalam insiden tenggelamnya kapal perang Rusia, Moskva. Meski begitu, Bayraktar memiliki kelemahan: ukurannya besar dan kecepatannya lambat, sehingga mudah terdeteksi dan dijatuhkan oleh sistem pertahanan udara Rusia.
Tak hanya mengandalkan drone militer mahal seperti Bayraktar, yang harganya mencapai Rp 31 miliar per unit. Ukraina dan Rusia juga mulai memanfaatkan drone komersial seperti DJI Mavic 3. Meski awalnya dirancang untuk keperluan fotografi udara, DJI Mavic kini menjadi alat bantu tempur. Dengan harga sekitar Rp 30 juta, drone ini digunakan untuk pengintaian, pengarah tembakan artileri, bahkan dipasangi bahan peledak kecil. Dalam perang modern, “mata di langit” seperti Mavic memberikan keunggulan taktis bagi pasukan darat.
Namun, keterbatasannya nyata: daya jelajah hanya 30 kilometer, durasi terbang maksimal 46 menit, dan rentan terhadap gangguan elektronik. Rusia bahkan diketahui menggunakan senjata anti-drone seperti senapan Stupor—yang memancarkan gelombang elektromagnetik untuk menjatuhkan drone—serta sistem deteksi Aeroscope untuk melacak dan memutus komunikasi antara drone dengan operatornya.
Perang ini memperlihatkan bagaimana teknologi sipil dapat berubah fungsi menjadi alat militer, dan bagaimana skala serta biaya bukan lagi satu-satunya ukuran efektivitas dalam pertempuran. Dari drone bernilai miliaran hingga drone komersial seharga puluhan juta rupiah, semuanya kini berperan dalam dinamika medan tempur Rusia-Ukraina yang kian kompleks. (ina/bfn)