Perkembangan Kecerdasan Buatan Bisa Kuras Pasokan Air Global, Kok Bisa ?

perkembangan-kecerdasan-buatan-bisa-kuras-pasokan-air-global-kok-bisa
Photo courtesy of Microsoft

JAKARTA, Balifactualnews.com – Di balik layar percakapan cerdas dengan kecedasan buatan atau Artificial Intelligence(AI) dengan kreasi gambar instan, atau simulasi suara realistis, ada cerita lain yang jarang terdengar, yakni tentang air. Air bersih. yang dalam banyak tempat di dunia, kini tak lagi melimpah.

Kecerdasan buatan generatif dikenal luas melalui chatbot seperti ChatGPT, generator gambar, hingga pembuat video sedang mengalami ledakan pertumbuhan. Namun, perlu diketahui teknologi ini tak hanya membutuhkan data dan listrik. Ia juga haus akan air.

Setiap kueri yang diketik pengguna ke model AI seperti GPT membutuhkan proses komputasi intensif di pusat data raksasa. Dan pusat data yang beroperasi sepanjang waktu, menghasilkan panas dalam jumlah besar. Untuk menjaga sistem tetap dingin, dibutuhkan sistem pendingin dan di sinilah air berperan.

CEO OpenAI, Sam Altman, pernah menyebut satu kueri ChatGPT kira-kira membutuhkan seperlima belas sendok teh air. Tapi temuan akademisi dari California dan Texas jauh lebih tinggi: sekitar 500 ml air untuk setiap 10–50 respons. Variasi ini menunjukkan adanya perbedaan dalam metode perhitungan, apakah hanya untuk pendinginan langsung, atau termasuk juga penggunaan air untuk pembangkitan listrik dari bahan bakar fosil.

Apa pun angkanya, semua sepakat: penggunaan air oleh AI semakin meningkat. OpenAI saja mencatat bahwa ChatGPT menangani sekitar satu miliar permintaan setiap harinya. Dan itu baru satu platform.

Bayangan Krisis Air yang Makin Mendekat

Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan bahwa separuh populasi dunia sudah hidup dalam kondisi rawan air. Perubahan iklim memperparahnya. Kini, ekspansi AI membawa tantangan baru: konsumsi air oleh teknologi berkecepatan tinggi, di saat ketersediaannya makin langka.

Menurut laporan studi dari AS, industri AI diperkirakan akan menggunakan 4 hingga 6 kali lebih banyak air per tahun dibanding konsumsi air seluruh negara Denmark pada 2027.

Banyak pusat data dibangun di daerah panas dan kering—tempat yang justru sedang berjuang melawan kekeringan. Di Spanyol, warga membentuk gerakan “Your Cloud is Drying Up My River.” Di Chile dan Uruguay, Google harus menunda pembangunan fasilitas pusat datanya karena protes warga. Di Arizona, air menjadi isu sensitif saat pusat data terus bertambah.

Perusahaan seperti Microsoft, Meta, dan Google telah mengakui bahwa sebagian besar air mereka diambil dari kawasan dengan risiko kelangkaan tinggi. Google melaporkan bahwa 14% air yang digunakannya berasal dari area berisiko tinggi, dan 29 miliar liter air yang digunakan pada 2024 ‘dihabiskan’ banyak yang berarti diuapkan ke atmosfer dalam proses pendinginan.

Teknologi yang Makin Kompleks, Energi yang Makin Besar

Tidak semua aktivitas daring diciptakan sama. Menghasilkan gambar AI atau deepfake video memerlukan daya komputasi dan energi jauh lebih besar daripada sekadar mencari di internet atau mengirim email.

Laporan dari International Energy Agency (IEA) memperkirakan bahwa satu permintaan ke ChatGPT bisa menggunakan listrik hingga 10 kali lebih besar dari satu pencarian Google. Lebih banyak listrik berarti lebih banyak panas dan lebih banyak air untuk mendinginkannya.

Tetapi air bukan hanya dikonsumsi untuk pendinginan. Ia juga dipakai secara tidak langsung dalam pembangkitan listrik, terutama bila berasal dari PLTU batu bara, gas, atau nuklir yang menggunakan uap air sebagai penggerak turbin.

Solusi atau Ilusi?

Sebagian perusahaan mengklaim tengah mengembangkan teknologi pendinginan sirkulasi tertutup yang tidak memerlukan penguapan air. Microsoft, Meta, dan Amazon termasuk di antaranya. Namun, menurut para ahli, implementasinya masih dalam tahap awal.

Beberapa skema daur ulang panas dari pusat data untuk pemanas rumah telah dicoba di Eropa. Ada pula yang mengeksplorasi penggunaan air laut atau air limbah, tetapi pilihan ini memiliki tantangan tersendiri, termasuk risiko korosi dan pertumbuhan mikroorganisme.

Perusahaan-perusahaan besar seperti Google, Microsoft, dan Meta telah berkomitmen untuk menjadi “ramah air” pada 2030 dengan janji mengembalikan lebih banyak air daripada yang mereka ambil. Namun pencapaian saat ini masih jauh dari ambisi tersebut.

Inovasi yang Membelah Jalan

Kita tidak bisa menafikan manfaat AI dari mempercepat riset medis, mengurangi jejak karbon dalam transportasi, hingga membantu mendeteksi kebocoran gas rumah kaca. UNICEF bahkan menyebut AI sebagai terobosan potensial dalam pendidikan dan kesehatan anak-anak di seluruh dunia.

Namun, suara kritis juga bergema. Peneliti etika teknologi, Lorena Jaume Palasí, mengatakan bahwa “tidak ada cara” untuk membuat pertumbuhan besar AI menjadi sepenuhnya ramah lingkungan. Ia menyebut, membuat AI lebih efisien hanya akan mempercepat peningkatan penggunaannya.

Thomas Davin dari UNICEF menambahkan, industri ini harus lebih transparan dan efisien, bukan sekadar fokus pada kekuatan dan kecanggihan model. Ia mendorong model AI yang terbuka (open source), sehingga bisa digunakan tanpa perlu melatih ulang sistem besar yang rakus energi dan air.

Menuju Masa Depan yang Layak Dihuni

AI tidak harus menjadi ancaman bagi lingkungan tetapi hanya jika pertumbuhannya tidak mengabaikan keberlanjutan. Masih banyak pertanyaan yang belum terjawab, Berapa sebenarnya air yang digunakan oleh satu chatbot? Bisakah teknologi berkembang tanpa mengorbankan sumber daya alam yang makin menipis?

Karena jika tidak dikelola dengan bijak, mungkin suatu hari nanti kita akan sadar bahwa kecanggihan yang kita nikmati hari ini, telah menenggelamkan kita dalam krisis esok hari—krisis yang tak hanya digital, tapi juga sangat nyata dan sangat basah. (ina/bfn)

Exit mobile version