JAKARTA, Balifactualnews.com – Gelombang penolakan terhadap Rancangan Undang Undang Pemilu (RUU) yang dibahas di Badan Legislatif DPR RI semakin meluas. Di berbagai Platform media sosial telah ramai seruan seruan aksi masal untuk mengawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Penolakan terlihat melalui akun aliansi masyarakat maupun organisasi mahasiswa yang menyerukan untuk menggelar unjuk rasa di seluruh tanah air. Tagar Peringatan Darurat dan tagar #KawalPutusanMK semakin banyak merajai media sosial, bahkan seruan tersebut sudah menjadi trending topik dengan sebanyak 1.580.000 kali diunggah.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan nomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024. Selain menetapkan usia minimal calon kepala daerah, yaitu 30 tahun pada saat pendaftaran, MK juga memberikan peluang bagi semua partai politik, baik yang memiliki kursi di DPRD maupun yang tidak. Menurut Keputusan MK tersebut, aturan itu akan menciptakan persaingan yang lebih sehat dan inklusif dalam Pilkada.
Namun berbeda dengan pandangan DPR RI. para legislatif senayan tersebut lebih memilih untuk mengadopsi putusan Mahkamah Agung (MA) yang berbeda dengan putusan MK. Pointnya DPR menyepakati perubahan yang tidak sepenuhnya mengakomodasi putusan MK. RUU ini memungkinkan partai tanpa kursi di DPRD untuk mencalonkan kepala daerah dengan ambang batas yang lebih longgar, sedangkan partai yang memiliki kursi di DPRD tetap harus memenuhi syarat 20% kursi DPRD atau 25% suara pemilu sebelumnya.
Gelombang penolakan RUU Pilkada dan seruan mengawal putusan MK kini menjadi simbol protes yang semakin luas dan menguat, mahasiswa, masyarakat, tokoh publik hingga aktivis menggunakan poster ini untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka. Pesan yang disampaikan melalui poster ini mencerminkan kekhawatiran bahwa RUU Pilkada ini dapat merusak proses demokrasi di Indonesia dan menimbulkan ketidakadilan dalam Pilkada Nopember mendatang.
Merilis dari Antara, Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) I Gede Dewa Palguna mengatakan bahwa Rancangan Undang-Undang Pilkada yang dibahas di Badan Legislatif DPR RI merupakan bentuk pembangkangan secara telanjang.
“MKMK tidak perlu bersikap apa-apa terkait dinamika yang terjadi di antara pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dan DPR, karena MKMK memang tidak mempunyai kewenangan untuk memeriksa Baleg. Cara ini, buat saya pribadi adalah pembangkangan secara telanjang terhadap putusan pengadilan, c.q. Mahkamah Konstitusi,” kata Palguna, dikutip dari Antara, Kamis(22/8)
Palguna menegaskan bahwa MK merupakan lembaga negara yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 untuk mengawal konstitusi. Pembahasan RUU Pilkada oleh Baleg DPR RI itu sudah berada di luar kewenangan MK.
“Tinggal kelakuan itu dihadapkan dengan rakyat dan kalangan civil society (masyarakat sipil) serta kalangan kampus. Itu pun jika mereka belum kecapekan. MK adalah pengadilan yang, sebagaimana galibnya (lazimnya) pengadilan, baru bisa bertindak kalau ada permohonan,” tegas dia.
Sebelumnya, Baleg DPR RI dan pemerintah menyetujui untuk melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 atau RUU Pilkada pada rapat paripurna DPR terdekat guna disahkan menjadi undang-undang. (bfn)