Melebur Sifat Butha Kala Melalui Perang Api di Desa Adat Nagi

melebur-sifat-butha-kala-melalui-perang-api-di-desa-adat-nagi
Perang Api di Desa Adat Nagi, Minggu(10/3)
banner 120x600

GIANYAR, Balifactualnews.com – Usai persembahyangan bersama mohon Tirta Tawur di Desa Adat Nagi, Ubud, dilanjutkan dengan pelaksanaan perang api. Sekaa Baleganjur memulai tabuh sehingga suasana semakin semarak pada Minggu (10/3/2024).

Sebelum perang api dimulai, sabut kelapa kering ditumpuk tinggi sekitar 1 meter. Ketika semua sudah siap, maka api disulut sampai membesar. Saat api membesar maka mulailah perang api. Para pemuda menendang api yang menyala bara. Akhirnya selainenendang ada juga yang melempar api kepada pemuda lain. Suasana semakin riuh.

Baca Juga : Tawur Agung Kasanga Gianyar Dipuput Tri Sadaka dan Sarwa Sadaka

Jro Bendesa Nagi, I Nyoman Sudana mengatakan bahwa perang api ini telah menjadi tradisi secara turun-temurun di desa adatnya setiap Hari Raya Pengerupukan atau sehari sebelum Nyepi. Menurut kepercayaan masyarakat secara turun temurun. Hal ini dilakukan untuk melebur atau memusnahkan sifat Bhuta Kala yang ada di dalam diri. “Api merupakan simbol pelebur, sehingga kami yakini api yang mengenai tubuh dalam perang api ini, dapat melebur sifat Bhuta Kala di dalam diri,” ujarnya.

Karena keyakinan tersebut pula, masyarakat yang ikut dalam perang api ini justru senang jika mereka dilempar sabut kelapa berisikan api. “Meskipun tubuh terkena api dan melepuh, tidak ada yang dendam, malahan senang, karena api yang menghantam tubuh kita yakini dapat melebur hal-hal buruk di dalam diri kita,” ujarnya.

Baca Juga : Berkendara Saat Nyepi, Pecalang Padangbai Amankan Pemuda Asal Bima

Sudana mengatakan, sebelum perang api berlangsung, masyarakat yang mengikuti tradisi ini dipercikkan Tirta untuk menyucikan diri. Dimana diharapkan para peserta perang api ini memiliki pemikiran yang positif selama tradisi perang api berlangsung. “Kita percikan Tirta pada para peserta, dengan tujuan selama mengikuti tradisi perang api, pikiran peserta tetap positif, supaya tidak terjadi hal yang tak diinginkan,” ujar Sudana.

Seorang peserta perang api, I Wayan Ekayana mengatakan ia sama sekali tidak merasakan panas saat diserang api. Malahan, pria yang karib disapa Dolir itu mengatakan ia merasa bara api yang menghantam tubuhnya bagaikan air. “Tidak panas, saya rasakan seperti terkena air,” ujarnya di sela-sela perang api. Sedangkan I Putu Mahardika, peserta lainnya mengatakan tidak ada unsur emosional dalam menjalankan tradisi ini. “Semua mengikuti tradisi perang api dengan hati bersih, tidak ada emosi ataupun perasaan tidak baik, karena tujuan dari tradisi ini adalah untuk membersihkan diri dari sifat Bhuta Kala,” ujarnya. (gsp/bfn)