Daerah  

Kebudayaan Tradisional di Era Pendidikan 4.0

banner 120x600

( Setiyatmoko )

Tantangan pendidikan 4.0 terasa berat dihadapi guru. Bahkan, Jack Ma (CEO Alibaba Group) dalam pertemuan tahunan World Economic Forum 2018 mengatakan bahwa, pendidikan mendapat tantangan besar di abad ini. Jika tidak melakukan perubahan, maka dipastikan 30 tahun mendatang kita akan mengalami kesulitan yang besar. Karena peserta didik harus bersaing melawan mesin.

Di lain pihak, munculnya pendidikan 4.0 sebagai penjabaran dari revolusi industri 4.0 ibarat pisau bermata dua. Satu sisi diyakini mampu menciptakan inovasi baru, namun dilain pihak juga bakal menggerus beberapa aspek yang telah berjalan. Termasuk mengganti teknologi yang telah ada saat ini. Dampak paling dekat adalah keberlangsungan kebudayaan tradisional. Jika tidak disikapi secara cermat, maka kebudayaan tradisional justru bakal tergerus oleh laju teknologi tanpa batas ruang dan waktu.

Dalam dunia pendidikan, salah satu ciri era 4.0 adalah munculnya pembelajaran tanpa sekat dinding kelas. Artinya, peserta didik dapat belajar dimana saja dan kapan saja. Materi pelajaran telah berubah ringkas sebesar telapak tangan. Dengan kata lain, dunia pendidikan harus mengikuti laju perkembangan teknologi yang saat ini digemari oleh generasi milenial. Mau tak mau, sekolah juga harus menerima kehadiran media sosial. Guru bisa mengambil sisi positifnya. Memberikan ruang kebebasan kepada peserta didik untuk mengakses materi seluas-luasnya, dan peserta didik dapat belajar kepada siapa saja dan dimana saja.

Namun, fakta dan realita yang terjadi cukup sulit untuk diterapkan. Peserta didik jauh lebih menggemari game online, media sosial dan turunannya, dari pada memanfaatkan teknologi untuk kepentingan pembelajaran. Hal inilah yang dikhawatirkan akan ikut menggerus kebudayaan tradisional. Sudah menjadi rahasia umum, jika seni tradisional mulai kehilangan peminat, terutama generasi muda. Salah satu contohnya adalah seni lukis klasik wayang Kamasan.

Minat generasi muda untuk menggeluti seni lukis ini terus menurun. Alasannya klasik, di jaman yang serba cangih ini keberadaan game online jauh lebih menarik dibandingan seni lukis klasik. Ironisnya, belakangan ini muncul trend anime (kartun Jepang). Ternyata seni menggambar kartun Jepang ini juah lebih diminati. Terbukti dengan banyaknya varian anime karya anak sekolah yang nongol di media sosial. Seni menggambar kartun Jepang ini cenderung lebih bisa diterima oleh kalangan generasi muda, dibandingkan dengan seni lukis wayang Kamasan. Kondisi ini jelas mengancam kelestarian seni tradisional. Akibat minimnya generasi muda yang tertarik untuk menggelutinya. Pelan namun pasti, jika tidak ada upaya konkrit, maka kesenian tradisional terancam punah.

Salah satu solusi yang dapat diterapkan sebagai upaya menjalankan pendidikan 4.0 adalah keterlibatan secara langsung kalangan seniman dalam pendidikan di sekolah. Saatnya seniman “masuk” sekolah. Artinya, dunia pendidikan dan kebudayaan harus memberikan ruang kepada para seniman untuk dapat masuk sekolah. Biarkan siswa belajar langsung dari ahlinya. Tanpa bermaksud mengecilkan peran guru seni yang telah ada di sekolah. Kehadiran seniman yang ikut andil dalam pelestarian kebudayaan di sekolah akan memberikan injeksi motivasi tersendiri bagi para siswa.

Seniman “masuk” sekolah tidak harus dijabarkan dengan cara penggiat seni yang datang dan mengajar di ruang kelas. Namun, pihak sekolah dapat mengirim siswanya untuk belajar kebudayaan tradisional di tempat para seniman beraktivitas. Misalnya mengunjungi galeri dan lain-lain.

Tidak hanya itu, meskipun memiliki label seni tradisonal, namun dalam penjabaran dan pengembanganya, tetap harus memanfaatkan teknologi yang berkembang saat ini. Termasuk memanfaatkan media sosial dan media digital untuk akses perkembangan seni trandisional. Mulai dari inovasi terbaru, sarana promosi, termasuk proses pemasaran.

Bahkan, jika boleh sendikit ekstrim yaitu mengubah media seni yang digunakan. Contohnya adalah seni lukis wayang kamasan. Jika pakem aslinya seni lukis klasik ini dilukis di atas media kanvas, namun dalam perkembangan untuk menarik minat generasi muda, maka media lukis bisa diganti dengan media yang lain. Seperti dinding kelas, vas bunga, kipas kayu hingga piranti souvenir yang memiliki nilai ekonomis seiring perkembangan bidang parwisata.

Artinya, perubahan tidak mungkin dapat dibendung. Namun, bagaimana menciptakan perubahan itu agar tetap mampu mengakomodir warisan budaya leluhur sehingga tetap lestari adalah sesuatu yang tidak mungkin untuk ditawar lagi. (*)