Kisah Gepeng Pedahan Setelah Ditangkap Sat Pol PP Badung

Sri dan belasan gepeng asal Banjar Pedahan, Desa Tianyar Timur, Kecamatan Kubu, Kabupaten karangasem, saat dipulangkan Dinas Sosial Kabupaten Badung ke Karangasem
banner 120x600

KARANGASEM, Balifactualnews.com—Seorang Wanita Muda, terlihat tersenyum saat turun dari mobil Dinas Sosial Kabupaten Badung yang menurunkannya di  Gedung Loka Bina Karya (LBK) Dinas Sosial Kabupaten Karangasem, Selasa (4/4/2023).  Sambil mengajak anaknya yang masih balita, ibu muda bernama Sri  berusaha untuk menutupi wajah manisnya dengan baju switer hitamnya.

Sepintas ibu muda yang baru berusia 15 tahun asal Banjar Pedahan, Desa Tianyar Timur, ini   tidak seperti gepeng pada umumnya. Selain wajahnya cantik dengan kulit putih mulus nan bersih,  tampilannya juga gaul lengkap dengan kawat behel di giginya.

Pemulangan dari tempatnya menggepeng di wilayah Kuta, Kabupaten Badung ,bersama belasan gepeng asal Pedahan oleh Dinas Sosial Kabupaten Badung, bukan  merupakan apes. Tapi itu sudah menjadi keinginannya, karena Rabu (5/4/2023) merupakan Purnama Kedasa, dan di desanya ada upacara keagamaan— sama halnya dengan desa-desa lainnya di Karangasem dan Bali pada umumnya.

“Ini bagian dari strategi, kalau ditangkap Tibum (Sat Pol PP), berarti kami bisa pulang ke desa dengan gratis dan tidak perlu susah-susah mengeluarkan biaya lagi,” celetuk Sri.

Menggepeng di wilayah Kuta, kata Sri,  sudah dilakoninya lebih dari satu tahun lebih. Sekali pulang ke kampung halamannya dari  menggepeng dia  bersama teman-temannya bisa mengumpulkan uang  lumayan banyak. Bahkan dalam sebulan penghasilan yang didapatkan bisa mencapai jutaan rupiah.

“Sebelum ditangkap, hampir setiap bulan saya  dijemput suami untuk pulang ke rumah. Setelah itu kembali menggepeng bersama anak  di wilayah Kuta,” jelasnya.

Selama mengepeng di Badung, Sri bersama teman-temannya  ngekos dalam satu rumah semi permanen di wilayah Suwung Kauh. Berangkat dari kampung halamannya Pedahan  untuk menggepeng, kata Sri, dia bersama anaknya selalu diantar suaminya ke Denpasar. Sedangkan suaminya tinggal di rumah untuk berkebun dan beternak.

“Biasanya  suami baru menjemput untuk diajak pulang saat ada kegiatan keagamaan, seperti  hari raya Galungan, Nyepi dan upacara keagamaan yang ada di desa,” pungkas Sri. (ger/bfn)