Utama  

Sudikerta Langsung Lakukan Pembelaan


DENPASAR – Balifactualnews.com Lebih dari dua jam sidang pertama kasus yang menjerat mantan Wakil Gubernur Bali, I Ketut Sudikerta di gelar di ruang Kartika, Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Kamis (12/9/19).

Persidangan perkara Sudikerta dipimpin ketua majelis hakim, Esthar Otavani SH.MH dengan agenda pembacaan dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejati Bali, Jaksa Eddy Artha Wijaya SH dan Ketut Sujaya SH.

Sudikerta didudukan di kursi pesakitan PN Denpasar, sekitar pukul 14.45 Wita. Dakwaan jaksa setebal 25 halaman, membuat kedua JPU dari Kejati Bali itu membacakannya secara bergantian.

Jaksa Penuntut Umum mendakwa mantan Wakil Bupati Badung dan Ketua DPD Golkar Bali itu dengan pasal berlapis, yakni Pasal 378 KUHP tentang Penipuan atau Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan. Dan atau Pasal 263 ayat (2) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) Ke-1KUHP dan Pasal 3 Undang –Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang ( TPPU).

Tak mau menunggu lama jadwal sidang pembelaan (eksepsi), usai pembacaan dakwaan, Sudikerta langsung melakukan pembelaan melalui kuasa hukumnya, yang diwakili Nyoman Darma SH.MH dan kawan-kawan.



Pembelaan setebal 7 lembar itu, Sudikerta membantah semuai isi surat dakwaan jaksa. Sudikerta mengatakan, pada awal PT Marindo Investama (di mana pelapor, Alim Markus, salah satu pemilik sahamnya) sepakat untuk merger dengan PT Pecatu Bangun Gemilang, dimana istri Sudikerta sebagai salah satu pemegang saham. Dalam perjalanan disepakati untuk membentuk badan usaha baru bernama PT Marindo Gemilang pada notaris Wimphry Suwignyo sebagaimana akta nomor: 38 tanggal 14 Desember 2013.

Kemudian akta tersebut disepakati nilai saham berupa modal setor PT Marindo Gemilang adalah Rp 272,6 miliar berupa aset tanah masing-masing SHM bernomor 5048 seluas 38.650 m2 dan SHM bernomor 16249 seluas 3.300 m2. Di mana pelapor PT Marindo Investama memiliki sebesar 55 persen atau senilai Rp 149,9 miliar. Sedangkan istri Sudikerta sebesar 45 persen atau Rp 122,7 miliar.

Selanjutnya terjadilah pelepasan hak terhadap tanah SHM bernomor 5048 seluas 38.650 m2 kepada notaris Ketut Neli Asih sebagaimana akta nomor: 50 tertanggal 20 Desember 2013. Akta yang dikeluarkan notaris Ketut Neli Asih itu melahirkan sertifikat HGB nomor : 5074/Jimbaran tertanggal 7 April 2014. Sertifikat ini kemudian dijadikan jaminan pinjaman uang di Bank Panin senilai 90 miliar oleh Alim Markus. Dari jumlah tersebut sebesar Rp 89 miliar dipakai untuk membayar kekurangan pembelian saham.

“Jadi, uang Rp 89 miliar itu bukan merupakan uang Alim Markus, tetapi uang milik PT Pecatu Bangun Gemilang. Tidak ada unsur melakukan penggelapan dan penipuan terhadap Alim Markus,” ungkap Sudikerta.


Baca :


Sementara itu, terkait pemalsuan sertifikat SHM nomor: 5048 seluas 38.650 m2, Sudikerta menyatakan tidak tahu dan tidak pernah memalsukan, serta tidak pernah menyuruh orang menggunakan surat tersebut.

“Tindak pidana pemalsuan ini sudah pernah diperiksa penyidik Polda Bali dan kasusnya sudah dihentikan melalui penerbitan SP3. Pelapor mengajukan praperadilan namun ditolak hakim,” terang Sudikerta dalam esepsinya.

Usai sidang, Sudikerta menegaskan bahwa kasus ini hanya persoalan bisnis. “Saya tekankan ini masalah bisnis. Tidak ada masalah soal hubungan dengan APBD, jadi bukan masalah korupsi,” ucapnya singkat.

Dia juga berusaha meyakinkan masyarakat Bali, bahwa selama menjabat sebagai Wakil Bupati Badung dua periode dan Wakil Gubernur Bali belum pernah terjerat masalah korupsi.

Sementara itu, sebelum masuk persidangan, Sudikerta disambut puluhan pendukung setianya. Turun dari mobil tahanan, Sudikerta masuk sel tahanan PN Denpaaar lewat belakang. Dengan tangan diborgol dan dikawal ketat petugas polisi, mantan Ketua DPD Golkar Bali selalu melepas senyum termasuk juga dengan para wartawan yang meliput persidangan di PN Denpasar.

Perbuatan Sudikerta itu membuat PT Marindo Investama sebagai pihak pelapor dalam kasus ini menderita kerugian yang cukup besar. Seperti diungkapkan dalam dakwaan Jaksa, kasus hukum yang menyandung Sudikerta, berawal pada 2013 lalu, saat Maspion Grup melalui anak perusahaannya PT Marindo Investama ditawarkan tanah seluas 38.650 m2 (SHM 5048/Jimbaran) dan 3.300 m2 (SHM 16249/Jimbaran) yang berlokasi di Desa Balangan, Jimbaran, Kuta Selatan, Badung oleh Sudikerta.

Tanah seluas itu berada di bawah perusahaan PT Pecatu Bangun Gemilang, dimana istri Sudikerta, Ida Ayu Ketut Sri Sumiantini menjabat selaku Komisaris Utama. Sementara Direktur Utama dijabat Gunawan Priambodo.

Setelah melewati proses negosiasi dan pengecekan tanah, akhirnya PT Marindo Investama tertarik membeli tanah tersebut seharga Rp 150 miliar. Transaksi pun dilakukan pada akhir 2013.

Namun beberapa bulan setelah transaksi justru baru diketahui jika SHM 5048/Jimbaran dengan luas tanah 38.650 m2 merupakan sertifikat palsu. Sedangkan SHM 16249 seluas 3.300 m2 sudah dijual lagi ke pihak lain. Akibat penipuan ini, PT Marindo Investama mengalami kerugian Rp 150 miliar. (ibu/ger)