KARANGASEM, Balifactualnews.com – Suasana sejuk dan asri terasa ketika memasuki Desa Tenganan Dauh Tukad, Kecamatan Manggis Kabupaten Karangasem. Terlihat beberapa guide lokal sedang memandu wisatawan yang sedang berkunjung ke desa memang memiliki tradisi yang sudah terkenal ke seantero dunia yang telah diwariskan turun-temurun. Desa Tenganan Dauh Tukad ini menyimpan keunikan budaya yang sangat kaya, salah satunya adalah tradisi Mesabatab Biu atau yang lebih dikenal dengan nama “Perang Pisang”, yang tahun ini jatuh pada Selasa(15/4/2025).
Mesabatan Biu bukan sekadar sebuah permainan atau hiburan belaka. Bagi masyarakat Tenganan Dauh Tukad, tradisi ini memiliki makna yang dalam sebagai sebuah uji mental bagi calon pemimpin generasi muda berikutnya.
Baca Juga : Bupati Karangasem Berkomitmen Kurangi Pengangguran, Gandeng Wamenaker RI
Menurut Kelihan Desa Adat Tenganan Dauh Tukad, I Wayan Tisna menyebutkan, tradisi ‘Mesabatan Biu’ atau perang pisang ini dilaksanakan pada sasih katiga (bulan ketiga pada perhitungan kalender Bali) sebagai rangkaian dari Usaba Katiga.
“Adapun makna tradisi ini adalah untuk menguji mental dan ketangguhan calon ketua atau disebut ‘Saya” dan wakil ketua atau disebut “Penampih” kelompok pemuda di Desa Tenganan Dauh Tukad sebelum dikukuhkan.Calon kelian (ketua) truna dan wakilnya dalam prosesi mesabat-sabatan biu ini akan sengaja diberi tanda diwajah seperti topeng dengan warna, mereka dalam tradisi ini disabat (dilempari dengan buah pisang) oleh truna (pemuda) yang lainnya. Nah disinilahh mental seorang pemimpin itu diuji, apakah calon pemimpin itu emosional atau tetap tenang. Tentu sebagai pemimpin, rasa emosional itu harus tetap dijaga jaga sampai karena emosi yang berlebihan nantinya salah mengambil keputusan.,” ucap Tisna.
Tradisi perang pisang ini melibatkan kelompok pemuda senior dan yang saling berhadapan, di mana mereka menggunakan pisang sebagai senjata utama untuk saling melempar dan bertahan. Tapi lebih dari itu, ini adalah momen penting yang menguji seberapa besar keberanian, keteguhan hati, serta kemampuan seseorang dalam mengelola emosi dan mengambil keputusan dalam situasi penuh tekanan.
Baca Juga : Komisi IV DPRD Buleleng Soroti Siswa SMP yang Tidak Bisa Membaca
Lanjut Tisna, Tradisi Mesabatab Biu bukanlah sekadar tradisi, namun ada pelajaran berharga tentang kepemimpinan. Dalam tradisi ini, setiap pemuda diuji kemampuannya dalam menghadapi tantangan. Mereka tidak hanya harus sigap dan terampil dalam bertahan, tetapi juga harus bisa bekerja sama dalam tim, menunjukkan rasa tanggung jawab, dan memahami pentingnya menjaga keharmonisan antar anggota kelompok.
“Dalam konteks tradisi Mesabatab Biu, uji mental yang dimaksud adalah tentang kesiapan seseorang untuk memimpin. Kepemimpinan yang dibentuk bukan hanya tentang keberanian fisik, tetapi juga tentang ketenangan dalam menghadapi tekanan, kemampuan untuk berpikir jernih, serta kecakapan dalam mengelola dinamika kelompok. Pemuda yang berhasil melewati tradisi ini dengan penuh kesabaran dan keteguhan dianggap memiliki kualitas yang dibutuhkan untuk memimpin,” lanjut Tisna.
Bagi masyarakat Tenganan Dauh Tukad, pemuda yang mengikuti Mesabatab Biu dianggap telah menunjukkan komitmen dan kesiapan mereka untuk berperan dalam menjaga kelangsungan adat tradisi dan budaya desa mereka. Dalam tradisi perang pisang juga seabgai bentuk bagaimana nantinya calon pemimpin generasi muda Tenganan Dauh Tukad bisa membawa desa mereka untuk lebih maju.
“Seiring berjalannya waktu, meskipun tantangan semakin kompleks, tradisi ini tetap menjadi salah satu cara yang ampuh untuk menyiapkan generasi muda Tenganan Dauh Tukad menghadapi peran-peran besar yang akan mereka emban di masa depan. Dengan berpegang pada nilai-nilai yang terkandung dalam Tradisi Mesabatab Biu, mereka diharapkan bisa menjadi pemimpin yang tidak hanya cerdas, tetapi juga bijaksana dan penuh empati terhadap sesama,” imbuhnya.
Baca Juga : Tegas dan Keras Gubernur Koster Datangi Imigrasi Langsung Deportasi WNA AS Pelaku Kriminal di Pecatu
Sebelum pelaksanaan Mesabatan Biu atau perang Pisang terlebih dahulu dilaksanakan proses Ngelawang, yakni para pemuda berkeliling desa dengan membawa sok bodag atau tempat menaruh sumbangan dari warga desa. Setelah itu dilanjutkan dengan proses Ngalang yakni memetik buah pisang dan kelapa oleh para pemuda desa yang nantinya akan dipergunakan sebagai sarana pada tradisi mesabatan biu. (ger/bfn)